Cari Opini


Home >> Opini >> Ikhwan Arif (Pendiri Indonesia Political Power)

Opini
Ikhwan Arif (Pendiri Indonesia Political Power)

Pemilu dan Narasi Persatuan

Rabu, 16 November 2022 WIB

Pemilu dan Narasi Persatuan

Dalam praktik pemilu yang demokratis negara menyelenggarakan sistem politik dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman yang sesuai dengan dasar negara Pancasila. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pemilu sangat sarat dengan perbedaan kepentingan politik baik itu antara kandidat maupun rakyat sebagai pemilih. Adanya kebebasan berpolitik menimbulkan perbedaan berpendapat dan perbedaan argumentasi terhadap informasi-informasi politik, sehingga hal ini menjadi alarm bagi praktik Demokrasi.

Dalam konteks ini, Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024, diharapkan terbebas dari keterbelahan publik dan narasi perpecahan. Dibutuhkan narasi politik yang positif dan bijak dalam mengekspresikan kebebasan berpolitik. Berdasarkan pemahaman ini, menurut Henry B. Mayo (1960) dalam bukunya yang berjudul  Introduction to Democratic Theory dia mengatakan sistem politik yang demokratis ditentukan oleh kebijaksanaan umum atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala, atas dasar prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Atas dasar sistem yang demokratis ini, rakyat sebagai unsur terpenting dalam sebuah negara memiliki kesamaan dalam hak-hak berpolitik baik untuk dipilih dan memilih wakil-wakil rakyat melalui sistem pemilu yang sudah ditentukan. Kemudian negara membentuk penyelenggara pemilu melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Bawaslu sebagai institusi yang ditunjuk untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti.

Menyikapi Kebera­gaman Dalam Pemilu
Seiring berjalannya waktu, pemilu terutama pilpres kerap ditumpangi oleh narasi-narasi negatif atau narasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemajemukan dan bukan merupakan bagian dari kebudayaan politik kita. Nilai-nilai kebebasan berpolitik justru disalahartikan, masyarakat harusnya menganggap keberagaman itu sebagai sesuatu yang (diversity) yaitu mengakui adanya keberagaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku. Untuk itu perlu terselenggaranya masyarakat yang terbuka (open society) dengan tetap menjaga agar tidak melampaui batas, sebab disamping keanekaragaman diperlukan juga persatuan serta integrasi.


Berkaca pada Pilpres 2019 munculnya narasi yang bernuansa politik identitas telah menggoreskan luka baru dalam praktik pemilu di Indonesia. Rakyat disuguhkan dengan penggunaan narasi agama sebagai alat politik identitas meskipun pada akhirnya kedua kandidat yang bertarung kembali merajut dan mengupayakan rekonsiliasi politik.

Terpilihnya Presiden Jokowi dan KH Ma’aruf Amin pada Pilpres 2019, kemudian rivalnya diangkat menjadi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Sandiga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, justru menunjukkan sebuah proses kedewasaan berpolitik di Indonesia. Nilai persatuan dan kesatuan tetap dijunjung tinggi untuk meredam polarisasi yang terbentuk dalam masyarakat pasca Pilpres 2019. Meskipun demikian, tidak semua publik menerima upaya rekonsiliasi politik, karena ada narasi politik identitas selama Pilpres 2019. Namun, proses penyembuhan luka tidak secepat upaya rekonsiliasi, akan tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama.

Dalam dimensi yang berbeda dan konteks yang sama, narasi politik yang bernuansa politik identitas kembali dipertontonkan. Kondisi ini terjadi ketika “identitas politik” dipersepsikan sebagai “politik identitas.”  Memang kita dituntut untuk berhati-hati menggunakan identitas politik yaitu identitas agama, suku dan kesamaan daerah dalam kampanye politik. Misalnya menggunakan narasi memilih Presiden Jokowi atas persamaan agama Islam atau memilih presiden atas persamaan orang Jawa, Batak, Sunda, Minang dan suku-suku lainnya. Narasi ini yang kemudian ditafsirkan berbeda, dibungkus dengan unsur kebencian serta menganggap agama dan suku tertentu lebih buruk daripada yang lain.

Narasi seperti ini memiliki ruang tersendiri dalam Pilpres 2024. Jika terus diproduksi dan secara berulang dipertontonkan akan merusak nilai-nilai kemajemukan. Secara sosiologis narasi ini menyasar terhadap struktur sosial masyarakat yang berdasarkan faktor agama, suku, ras dan faktor daerah.

Jika dilihat pada kondisi terkini, ruang gerak dan porsi “politik identitas” memang jauh berbeda pada Pilpres 2019, pasalnya di 2019 kandidat yang bertarung terbelah menjadi dua pasang poros politik yang berbeda. Ketajaman politik identitas dinilai menurun di Pilpres 2024, sebab dalam kerangka dinamika koalisi pilpres, potensi besar terbentuknya tiga atau empat pasang kandidat dari pengamatan penjajakan poros koalisi yang sedang dibentuk.

Realitasnya, masing-masing poros koalisi yang sudah terbentuk, memiliki representasi politik baru untuk mewakili aspirasi mereka di ruang publik melalui narasi politik kebangsaan. Misalnya Koalisi Indoneisa Bersatu (KIB) mengedepankan politik gagasan, Koalisi Indoneisa Raya (KIR) melalui visi dan misinya mengemukakan program listrik gratis, kemudian PDIP masih disibukkan dengan narasi menuntaskan program kerja di akhir masa jabatan presiden Jokowi, dan yang terakhir ada poros perubahan yaitu NaDem, PKS dan Demokrat tengah membangun narasi konsolidasi untuk perubahan.

Oleh karena itu, jika masing-masing poros koalisi mengusung nama-nama bakal calon dengan komposisi tiga atau empat pasang calon, maka polarisasi seperti Pilpres 2019 akan dapat dihindari. Masing-masing poros koalisi seyogyanya membentuk narasi positif berdasarkan narasi politik kebangsaan melalui figur atau tokoh yang mampu mendistribusikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan.***