Mengapa implementasi kepemimpinan yang dilakukan pada suatu kondisi organisasi, gagal? Sebelum menjawab pertanyaan itu, penulis ingin membatasi ruang lingkup aktor kepemimpinan hanya pada aktor kepemimpinan “Tionghoa”, tetapi penerapan kepemimpinan pada semua situasi organisasi di Indonesia.
Ini sangat menarik, sekiranya yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa situasi organisasi dihuni oleh keseluruhan orang Tionghoa, sementara leader actor dipegang oleh non-Tionghoa? Secara empirik penulis belum pernah menemukan situasi demikian, melainkan sebaliknya.
Oleh karena itu, hal ini menarik untuk diperbincangkan sebagai langkah awal untuk mengupas konsep, pemikiran, variasi-variasi terikat yang mempengaruhi lahirnya kepemimpinan akulturasi. Penulis juga tidak memperbincangkan kesuksesan yang diraih generasi pertama kelompok Tionghoa Indonesia yang semula adalah kaum imigran. Namun pada kelompok peranakan hal ini sudah mulai kentara dilaksanakan.
Ada pepatah Tionghoa yang berbunyi,”First generation establish business; Second generation makes much money; Thirth generation lost it!” Bahwa generasi pertama dianggap sebagai pendiri atau perintis usaha; Generasi kedua menghasilkan banyak uang; Generasi ketika menghamburkan uang!. Sebab itu, yang ditegaskan adalah generasi ketiga tidak boleh sampai ada, artinya saat kejayaan yang didapat generasi kedua, maka diupayakan untuk kembali memasuki siklus generasi pertama, dan seterusnya. Pepatah ini terkadang juga menjadikan perusahaan orang Tionghoa menjadi gurita karena terus berprinsip pada pola generatif.
Pada awal 1900-an Max Weber melakukan penelitian di daratan Cina tentang kepemimpinan manajer Barat dan relevansinya dengan tenaga kerja Cina. Bertolak dari penelitian Weber pada kalangan pekerja Cina dan para manajer expatriate di daratan Cina, diperoleh hasil bahwa para manajer harus mampu menyesuaikan diri, mempelajari etika dan budaya Tionghoa. Sehingga baru mampu menyelaraskan instruksi ke bawahan yang merupakan pekerja tempatan. Artinya, para manajer expatriate tidak bisa menerapkan sepenuhnya konsep leadership yang dibawa dari negerinya.
Diferensiasi Etos Kerja
Hal ini memiliki relevansi kuat dengan para CEO, eksekutif perusahaan Indonesia di bawah kendali manajer Tionghoa yang sudah mengadopsi akulturisasi kepemimpinan. Weber menyatakan bahwa faktor pembeda adalah peroalan etik dan etos kerja. Orang etos kerja orang Tionghoa dikenal sebagai pekerja keras, bak mesin yang selagi bisa diberdayakan maka akan terus berputar. Betolak belakang dengan etos kerja manajer Barat, mereka akan menyudahi pekerjaan jika dirasa jam kerja telah selesai.
Ada juga pandangan Daniel Wren tentang evolusi pemikiran manajemen. Apa yang dilakukan Daniel Wren dinilai belum cukup karena pandangan Daniel Wren mengabaikan bagaimana cara pandang orang Timur terhadap ilmu manajemen. Orang-orang Timur berpandangan bahwa efisiensi dan efektivitas menjadi tujuan dalam menjalankan manajemen. Orang-orang Barat menjalankan manajemen lebih menekankan pada tahapan proses, maka lahir apa yang disebut dengan birokrasi seperti yang diungkapkan Max Weber dalam teori-teorinya, dan selanjutnya Weber dianggap sebagai Bapak Birokrasi. Orang timur khususnya Cina, mengabaikan proses dan lebih memilih mengedepankan hasil sebagai tujuan akhir.
Jack Ma pendiri sekaligus Chairman Executive Alibaba Group, pernah menawarkan konsep waktu “kerja gila” yaitu 996 (Nine-Nine-Six). Artinya, selayaknya kesuksesan suatu perusahaan akan luar biasa, produktivitas akan naik tinggi jika menerapkan konsep masuk kerja pukul 9 pagi dan selesai kerja pukul 9 malam, dilakukan dalam satu minggu 6 hari kerja. Konsep kontroversial boss Alibaba ini dianggap banyak pengamat sebagai konsep “gila” yang tidak manusiawi karena merebut waktu istrahat pekerja. Jika konsep ini benar diterapkan, anda bisa bandingkan dengan Undang-Undang No.21 Tahun 2020 Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 35/2021, yaitu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu. Atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Artinya, rasio waktu kerja hampir 2 kali lipat.
Apa yang mendasari konsep pemikiran Jack Ma itu? Kita mengetahui Jack Ma adalah putra Cina. Ia dibesarkan dan dididik dengan budaya Tionghoa. Jack Ma menyebutkan bahwa konsep kerja keras itulah yang melahirkan raksasa teknologi Cina Tancent dan Alibaba. Para manajer Barat baru akan sukses jika mereka mampu mengubah dengan mentransformasi sistem kerja Barat menjadi Timur. Setidaknya manajer Barat berupaya untuk mengakulturasi budaya Timur khususnya budaya Tionghoa.
Sama halnya dengan para manajer Tionghoa di Indonesia, para CEO sukses secara kodrati mereka dibentuk oleh budaya tradisional Tionghoa; etos, etik, dan filosofi. Ini adalah bagian dari pendidikan informal yang mereka dapatkan. Derajat Frame of Experience (FoE), yaitu budaya Tionghoa pengaruhnya lebih besar dalam diri para manajer Tionghoa atau para eksekutif Tionghoa. Sedangkan Frame of Reference (FoR) didapat secara formal dari dunia pendidikan. Nah, di sinilah munculnya kemahiran para orang Tionghoa untuk melahirkan suatu akulturasi model kepemimpinan. Mereka yakin bahwa untuk memimpin sekelompok orang dengan latar budaya berbeda, harus mengikuti dasar budaya mayoritas. Misalnya, orang Melayu lebih mengedepankan sopan santun, senioritas, atau derajat sosial. Tetapi pada sisi lain etos kerja Tionghoa juga perlu diadopsi agar terjadi kombinasi etos kerja. Ini yang disebut dengan akulturasi etos kerja.
Lain Lubuk Lain Ikan
Lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang. Pepatah ini merujuk pada situasi bahwa tidak semua kondisi bisa dianggap sama. Etos kerja orang Tionghoa tentu berbeda dengan etos kerja orang Barat, misalnya. Hal ini juga sama halnya, bahwa etos kerja orang Tionghoa juga berbeda dengan non-Tionghoa. Pada sisi ini kita tidak menilai siapa yang lebih baik, akan tetapi kita menyoroti persoalan metode kerja semata.
Masyarakat Tionghoa merupakan suatu kelompok masyarakat yang memiliki bermacam-macam legenda, misteri, dan tradisi yang telah mengakar kuat secara turun-temurun. Acapkali orang Tionghoa sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya mendasari tingkah laku dan kebiasaan mereka tersebut. Semua itu sudah terbentuk sejak berabad-abad yang lalu dan mereka tetap mempertahankan ajaran yang menerangkan gaya hidup yang bersangkutan.
Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang masih dapat mempertahankan tradisi serta kepercayaannya. Namun pada waktu yang bersamaan mampu menyesuaikan diri dalam abad modern seperti sekarang ini. Mereka biasanya dianggap masih kuno, karena banyak aktivitas sehari-hari mereka yang masih dipertahankan sesuai dengan tradisi lama nenek moyang mereka. Kelebihan kelompok ini mereka mampu melahirkan bauran leadership, dimana penulis menyebutnya sebagai kepemimpinan akulturasi Tionghoa.
Penutup
Untuk menjawab pertanyaan pada paragraf pertama di atas, kita sudah mengetahui bahwa kegagalan seorang pemimpin dalam memimpin kelompok organisasi dikarenakan adanya, Pertama, diferensiasi budaya khususnya etika dan etos kerja pembentuk frame of empiric (FoE) dan frame of reference (FoR) seseorang. Kedua, Ketidakmampuan para manajer Barat (non-Tionghoa) mengadopsi budaya Timur sebagai fundamental leadership dalam pengambilan keputusan. Ketiga, Munculnya pemikiran bahwa budaya bawaan memiliki derajat nilai lebih tinggi dari budaya tempatan.
Untuk mengatasi kegagalan persoalan kepemimpinan khususnya organisasi di Indonesia, model kepemimpinan Chinese acculturation leadership barangkali menjadi suatu solusi. Jadi Chinese acculturation leadership sesungguhnya adalah bentuk atau pola gaya kepemimpinan yang sudah mengalami penyesuaian terhadap kultur budaya lokal. Kultur lokal sebagai pembentuk pola kerja masyarakat secara dominan akan terus menstimulus pola pikir dan pola tindak masyarakat pekerja, dan itu tidak bisa dihilangkan dengan mudah. Untuk mendongkrak dan mengubah mindset pekerja lokal, Chinese acculturation leadership adalah solutif.***