Harlah Nahdlatul Ulama (Nu) ke-100 telah berlalu. Tapi gaung nya masih terasa sampai saat ini. Mungkin karena momen harlah berdekatan dengan suasana politik 2024, apapun yang dilakukan selalu saja ‘kecipratan” hal-hal yang berbau politis. Apalagi Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menganut politik bebas-aktif atau non-blok.
Artinya bahwa posisi NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Akibatnya, dia bebas pergi kemana saja, dan undangan dari Partai Politik mana saja untuk menyampaikan visi-misinya sebagai ormas yang menginginkan steirilisasi dari intrik-intrik politik praktis. Terakhir, dia dengan beberapa pembesar Pengurus PBNU menghadiri acara simposium satu abad NU yang digelar PAN di Hotel Seraton Surabaya beberapa waktu lalu.
Acara simposium satu abad NU tersebut merupakan acara yang mempunyai tafsir-tafsir politik yang beragam; mulai dari tafsir yang keras seperti tulang, sampai pada tafsir yang lunak seperti daging rebus. Kedekatan Pengurus PBNU dan para pembesar PAN yang notabene partai lahir dari organisasi Muhamadiyah bukan hal yang terjadi secara tiba-tiba.
Sejarah kedekatan ini tentu berawal dari kedekatan Pendiri NU dan Muhamadiyah (Hadratusyeikh K.H. Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan) adalah produk dari santri asuhan penerus dari KH Hasan Besari. Kedua nya muncul menjadi pemimpin ormas besar yang mempunyai jalur sama dengan strategi berbeda-beda. Muhamadiyah menggarap lahan dakwah nya di kota, sedangkan NU menggarap lahan dakwah nya di pedesaan (namun kini sudah tidak ada lagi batas-batas tersebut).
Acara PAN ini semakin terasa NU ketika dalam pembukaan menyanyikan lagu yalal wathan. Ditambah lagi, Ustadz Adi Hidayat mampu menerangkan geneologis intelektual antara NU dan Muhamadiyah yang sebenarnya mempunyai hubungan yang sangat intens dan tidak perlu mempersoalkan perbedaan pada persoalan furu’. Sebab amalan-amalan ibadah yang menjadi tradisi di NU pun, Pendiri Muhamadiyah, KH Ahmad Dahlan tidak mempersoalkan. Berbeda cara, tapi tujuanya sama.
Gus Yahya bisa tersenyum secara bebas di acara tersebut. Bisa jadi karena dia berbicara di Partai Politik yang lahir bukan dari NU. Penulis menilai, dia akan sedikit berbeda suasananya ketika memberi penjelasan makna politik bebas-aktif di tubuh NU sendiri. Sebab bagaimanapun, salah satu faktor lahirnya PKB karena ada misi besar yang ingin dibangun oleh para kiai NU dalam menterjemahkan politik kebangsaan. Apalagi sebagian para ulama NU sedang mengkampanyekan agar warga NU untuk pulang ke rumah besarnya yaitu PKB.
Gus Yahya mungkin belajar dari sejarah perjalanan politik, warga NU adalah kelompok yang sering termarginalkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama sekali kenangan yang sangat menyedihkan ketika Orde Baru berkuasa. Orde Baru benar-benar membuat NU berjalan tanpa kepala selama 32 tahun. Maka agar tidak menjadi korban politik, warga NU dipersilahkan untuk menentukan sikap politik masing-masing.
Namun lagi-lagi, fatwa politik Gus Yahya mendapat pertentangan dari internal tokoh dan sebagian ulama NU yang menginginkan warga NU untuk membesarkan partai politik yang lahir dari ijtihad ulama NU. Dan saya kira pertentangan atau perbedaan akan terus berlanjut. Namun seperti biasa, tradisi NU selalu saja, “geger-an”, dan berakhir “ger-geran”. Itulah tradisi ormas NU.***