Sengaja tulisan ini dibuat untuk mensugesti sikap politik masyarakat yang selama ini terkesan kurang menghargai amanat kedaulatan yang diberikan negara kepadanya (pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Lemahnya kualitas partisipasi dalam menggunakan hak pilih karena terjebak dalam pragmatisme politik jangka pendek membuat agenda pemilu kurang berintegritas.
Politik uang telah merusak tatanan dan sendi-sendi demokrasi kebangsaan sekaligus menjadi ancaman karena membangun budaya demokrasi politik berbalut materi yang dapat menghilangkan kemurnian aspirasi. Inilah yang menjadi alasan kenapa topik ini menjadi urgen untuk diketengahkan.
Hambatan terbesar untuk mewujudkan pemilu berkualitas ialah dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman dan kesadaran sebagai warga dalam kerangka nasionalisme. Pada aspek pemahaman, bahwa demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung akan mendapatkan hasil yang berkualitas jika diterapkan di tengah masyarakat yang pendidikan dan pemahamannya baik, karena individu sendiri yang menentukan pilihan dengan prinsip lansung, bebas dan rahasia. Kemudian di aspek kesadaran, yaitu sulitnya membangun kesadaran kolektif masyarakat bahwa ia telah diberi daulat penentu oleh konstitusi untuk melahirkan kekuasaan berkualitas, bagaiaman kemudian ia gunakan hak tersebut secara berkualitas.
Efek dua hambatan besar ini banyak memicu turunan persoalan-persoalan lainya, seperti perilaku politik uang, informasi hoax, isu black campaign, politisasi identitas yang mengandung SARA, tipe pemilih sosiologis dan psikologis. Prilaku ini dapat mengganggu kemurnian suara yang seharusnya ia berpandu pada pertimbangan akal dan nurani, namun karena lemahnya daya saring diri sehingga mereduksi kualitas suara (daulat). Kualitas demokrasi melalui pemilu akan dapat dirasakan untuk pembangunan, jika mayoritas masyarakat sudah sadar untuk berpartisipasi, dan mayoritas yang berpartisipasi itu sudah bisa menetukan hak dan arah suaranya dengan cara mikir (pemilih rasional), sehingga dapat menghasilkan sosok yang bisa mikir dengan kesadarannya itu.
Di alam demokrasi, pemimpin dan masyarakat adalah sebuah kausalitas yang tak terpisah ibarat cermin, kualitas pemimpin adalah gambaran nyata dari kualitas masyarakatnya, sebaliknya kualitas masyarakat juga cerminan dari kualitas pemimpinnya, karena dalam persfektif demokrasi lansung, masyarakatlah mesin produksi kepemimpinan itu, dan pasca proses pemilihan, pemimpin itulah yang menentukan kualitas kehidupan masyarakat yang dipimpinnya, oleh karena itu, kesadaran kolektif antara peserta dan masyarakat untuk pembangunan perlu diperjelas, lalu dipertegas lewat sikap politik yang lebih berideologi yaitu semata untuk mewujudkan amanat yang tertuang pembukaan dalam UUD 1945, ini menjadi orientasi yang hakiki dalam konstiusi kita sebagai kiblat bersama.
Sejak pemilu pertama pada tahun 1955 hingga 2019 lalu, Indonesia telah tercatat 12 kali melaksanakannya dan akan memasuki kali yang ke-13 pada tahun 2024 mendatang, hendaknya terhadap rekam jejak yang telah sudah dapat menghantarkan kita pada satu kesimpulan penting tentang bagaimana demokrasi dan pemilu itu dijalani dan bagaimana pula efektifitasnya untuk pembangunan selama ini sehingga ada pendewasaan sikap politik masyarakat dalam menggunakan hak daulat yang telah diamanahkan oleh konsitusi.
Hak daulat adalah sesuatu yang sakral, ia harus disalurkan secara bernilai dan bukan malah dijual atau ditentukan secara irrasional, karena daulat menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, mari membangun dengan mengedepankan kualitas berpartisipasi murni pada pemilu, yaitu dengan sikap sadar tentang peran dan tanggungjawab untuk negara-bangsa, dengan senantiasa berpedoman kepada ideologi negara, nurani, akal dan pengetahuan sehingga dapat melahirkan kekuasaan yang bermutu sekaligus untuk menghindari agar demokrasi tidak dimanipulasi.
Semoga kedepan agenda pendidikan politik terpadu dapat menjadi solusi kebijakan sehingga pemaknaan dan partisipasi atas hak daulat yang diberi tidak dialih fungsi.***