Berdasarkan data yang dirilis oleh KPU RI, terdapat 67 mantan narapidana jadi bacaleg DPR dan DPD. Dengan persebaran 52 bacaleg DPR dan 15 bakal calon anggota DPD. Hampir tersebar di seluruh partai politik kecuali Gelora, PKN, Dan PBB. Hal ini seharusnya tidak terjadi atas nama hak konstutisional warga negara namun mengabaikan nilai moral sebagai penegak nilai kedaulatan atas rakyat.
Dengan berlakunya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,DPRD Provinsi Dan Kabupaten/Kota (PKPU) ,yakni terkait ketentuan pasal 4 ayat (3) dan pasal 7 huruf (g) PKPU yang menegaskan keharusan dalam seleksi bakal calon anggota legislatif tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Berbagai pihak menilai sangat baik dan mengapresiasi aturan tersebut demi mewujudkan parlemen yang berintegritas dan bersih dari para oknum yang punya rekam jejak yang buruk. Namun, ada pula pihak yang mempersoalkan PKPU tersebut harus didukung landasan yuridis yang kuat.
Pada kelanjutannya, MA membatalkan PKPU pasal 4ayat (3) nomor 20 tahun 2018 tersebut karena bertenatangan dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang pemilu. Serta pasal 28 huruf D UUD Negara Republik Indonesia Tahu 1945. Diantara alasan mengapa bisa adanya pembatalan aturan PKPU tersebut menurut penulis ialah legitimasi yang mencuat di permukaan meingat putusan MK bersifat konstitusional terhadap calon legislatif apalagi memiliki pengalaman sampai dieksekusi putusan inkrah oleh pengadilan.
Dalam hal ini latar belakang seorang calon legislatif dari mantan narapidana akan menjadi citra buruk bagi perjalanan kampanyenya nanti, namun karena berdasarkan keputusan yang telah berlaku tidak ada larangan untuk mereka mencalonkan diri dan kembali pada niat mengabdi pada negara.
Sebagai pemilih yang ingin mendapatkan wakil yang benar-benar merepresentasikan suara mereka di parlemen maka dibutuhkan pemilih yang sehat secara akal dan jasmani. Bila masih mampu disuap dengan uang dan sebagainya maka kembali terpilih para calon yang sangat berpengalaman untuk melanggar sumpahnya sendiri.
Selama ini yang masyarakat saksikan DPR RI kadang membuat kegaduhan baik sesama anggota atau terhadap institusi lain. Sejatinya DPR sebagai pengawas kebijakan pemerintah yang menjalankan Undang –Undang yang dikeluarkan Oleh DPR namun realitanya justru pemerintah bekerja tanpa pengawasan penuh dan sangat mulus mengeluarkan kebijakan tanpa dikritisi DPR.
Forum Masyarakat Peduli Pemuli (Formappi) menilai Sidang I DPR tahun sidang 2022-2023 sangat minim melibatkan partisipasi publik. Berdasarkan penelusiran laporan singkat rapat-rapat KomisiI-IX DPR Masa Sidang I, Formappi menemukan sebanyak 79 kali rapat pengawasan ihwal pelaksanaan kebijakan pemerintah . Rapat ini digelar oleh 10 komisi dari 11 komisi, kecuali komisi I.
Sementara itu masukan dari masyarakat/parktisi hanya 9 kali rapat (11,39 persen ), sedangkan pelaksanaan fit dan proper test terhadap calon pejabat publik sebanyak 7 kali rapat (8,86 persen ). Masalah minimnnya keterlibatan publik adalah masalh laten di tubuh DPR.Mengenai fungsi pengawasan, DPR lebih membela kepentingan elite dibandingkan Rakyat. hal itu tampak antara lain komisi VI yang mendukung penyesuaian harga bahan minyak (BBM) non-subsisi dan mendesak pemerintah untuk segera menetapkan formula harga pertalite yang tidak merugikan PT Pertamina.
Para peserta pemilu yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR RI, mendaftarkan diri melalui partai politik. Maka setelah apapun yang terjadi di perlemen anggota dewan bertanggung jawab pada pimpinan partai dan membawa gagasan partai di parlemen. Partai politik semestinya bertanggung jawab pada rakyat yang telah dikhianati pada saat kampanye dahulu.
Faktanya partai politik terkesan lepas tangan dan hal itu merupakan tindakan personal kader belaka. Hal yang tidak patut karena kader itu berasa dari parpol.***