Cari Opini


Home >> Opini >> Irfan A G (Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Riau)

Opini
Irfan A G (Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Riau)

Sejarah Pulau Rempang

Senin, 18 September 2023 WIB

Sejarah Pulau Rempang

Konflik terkait proyek Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah mengganggu kehidupan mereka, terutama para nelayan yang merasakan dampaknya tidak bisa melaut dan kehilangan mata pencaharian mereka.

Penduduk Pulau Rempang ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mari sejenak kita melihat pada sejarah. Pada abad ke-17, Pulau Rempang awalnya adalah tempat yang ditempati oleh para pelaut dari suku Bugis yang berasal dari Sulawesi. Mereka datang ke pulau ini untuk melakukan perdagangan dan menjadikannya sebagai tempat berlabuh kapal. Pulau ini menjadi pusat kegiatan perdagangan yang sibuk, dengan kapal-kapal yang datang dan pergi membawa barang dagangan dari berbagai tempat.

Pada abad ke-19, Pulau Rempang mengalami perubahan besar ketika Belanda menduduki pulau ini. Belanda mendirikan pangkalan militer di pulau ini untuk memantau Selat Melaka, yang merupakan jalur penting dalam perdagangan maritim. Ini adalah awal dari masa kolonial Belanda di Pulau Rempang yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat setempat.

Tahun 1942, Pulau Rempang juga diduduki oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II. Tentara Jepang menggunakan pulau ini sebagai lokasi strategis untuk mengawasi Selat Malaka dan mengendalikan aktivitas militer di wilayah sekitarnya. Ini adalah masa yang sulit bagi penduduk pulau, yang harus hidup di bawah pemerintahan militer Jepang.


Namun, peristiwa paling menarik terjadi setelah penaklukan Belanda atas Kerajaan Riau pada tahun 1784. Pulau Rempang mengalami sejumlah perubahan dan peristiwa penting. Bukti kunjungan awal Belanda ke Pulau Rempang tertulis dalam catatan sejarah. Penaklukan Belanda atas Kerajaan Riau pada tahun 1784 menciptakan ketidakpuasan dan kebencian di kalangan beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau. Meskipun perlawanan terbuka tidak lagi mungkin, sebuah gerakan rahasia yang dikenal sebagai gerakan Lanun (penyusup laut) diselenggarakan dengan tujuan untuk mendapatkan kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau.

Pulau Rempang memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap kolonisasi Belanda oleh Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784. Pulau ini dihuni oleh penduduk asli seperti Orang Laut (Masyarakat Laut) dan Orang Darat (Masyarakat Daratan). Setelah itu, pada tahun 1973, Pulau Rempang ditetapkan sebagai zona industri khusus yang membuatnya menjadi bagian dari Kota Batam dan pusat pengembangan ekonomi di Kawasan Perdagangan Bebas Batam-Bintan-Karimun.

Namun, sejarah Pulau Rempang tidak hanya tentang penaklukan dan perubahan politik. Tokoh-tokoh penting seperti Sultan Mahmud Riayat Syah dan Engku Puteri Raja Hamidah terlibat dalam perlawanan terhadap kolonisasi Belanda pada tahun 1784. Meskipun ada informasi yang mencatat peran mereka, tidak ada catatan lebih lanjut tentang peran Raja Haji Fisabilillah dan tokoh-tokoh lain dari Pulau Rempang dalam perjuangan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Pulau Rempang mengembangkan berbagai mata pencaharian yang penting. Mereka mengandalkan perikanan, pertanian, perdagangan, industri kecil, dan bahkan pariwisata. Namun, konflik terkait proyek Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah mengganggu kehidupan mereka, terutama para nelayan yang merasakan dampaknya pada mata pencaharian mereka. Komunitas Melayu lokal bersama komunitas pribumi lainnya telah berjuang untuk melindungi hak-hak mereka dan mencari dukungan dari pemerintah.

Inilah kisah yang menyedihkan tentang perjalanan Pulau Rempang, dari masa lalu yang penuh sejarah hingga masa kini yang penuh tantangan. Untuk mendukung masyarakat Pulau Rempang yang menghadapi berbagai tantangan, kita dapat mengambil beberapa langkah.

Pertama-tama, penting untuk memahami secara mendalam masalah dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang, seperti konflik terkait proyek Rempang Eco City. Ini melibatkan upaya dalam memahami sejarah mereka, hak-hak yang mereka miliki, dan dampak dari konflik yang sedang berlangsung. Selanjutnya, kita dapat memberikan dukungan dengan cara mendukung upaya advokasi dan kesadaran masyarakat tentang isu-isu yang mereka hadapi, dengan berbagi informasi dan meningkatkan kesadaran publik.

Dukungan finansial juga dapat sangat berarti, baik melalui donasi kepada organisasi nirlaba yang mendukung masyarakat Pulau Rempang atau dengan aktif berpartisipasi dalam penggalangan dana. Selain itu, memberikan dukungan psikologis kepada mereka yang mengalami trauma akibat konflik adalah tindakan empati yang sangat penting. Menghubungi pemerintah setempat, regional, dan nasional untuk menyampaikan keprihatinan tentang konflik dan dampaknya juga memiliki dampak yang signifikan.

Selain itu perlu kolaborasi dengan organisasi lokal yang fokus pada isu-isu Pulau Rempang dapat memperkuat upaya kita. Selain itu, edukasi tentang hak-hak mereka, perlindungan lingkungan, dan pengembangan ekonomi bisa memberikan manfaat jangka panjang kepada masyarakat Pulau Rempang. Selalu mendekati mereka dengan pendekatan yang bersahabat, hormati budaya serta tradisi mereka, dan luangkan waktu untuk mendengarkan mereka adalah kunci dalam mendukung perjuangan mereka untuk melindungi hak-hak mereka dan menjaga kehidupan mereka yang berharga.***







Dinkes Inhil - Waspada DBD