Statement hanya chassing saja yang membedakan bank syariah dan bank konvensional sangat miris didengar, baik dalam lingkungan akademik maupun dalam kehidupan sosial masyarakat lainnya. Pernyataan itu muncul karena masih rendah pemahaman tentang bank syariah itu sendiri dikalangan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Pengoperasian Bank Syariah dasar utamanya adalah Firman Allah SWT, Al-Qur’an Surat Albaqarah [2] Ayat: 275 menyatakan Allah telah menghalalkan perniagaan (Al-Bai’) dan mengharamkan bunga (riba).
Dasar utama ini memiliki makna bahwasanya bank syariah meninggalkan penggunaan sistem bunga dan menerapkan penggunaan tijarah (untuk memperoleh keuntungan) melalui akad-akad perniagaan dalam produk-produk bank syariah. Memperoleh keuntungan senyatanya berbicara tentang proses produksi dan pasti terdapat aktivitas ekonomi sektor riil yang berbasis output.
Lain halnya dengan perbankan konvensional bunga ditentukan didepan berarti berbasis input, sangat jelas belum terjadi proses produksi, artinya aktivitas ekonomi sektor riil belum digerakkan, sementara besarnya bunga sudah dipatok. Selain dari hal tersebut bank syariah juga menerapkan penggunaan akad-akad tabarru’ (tidak untuk mencari keuntungan) sebagai fasilitas jasa perbankan seperti qardh (pinjaman kebajikan).
Bank syariah dalam menjalankan aktifitasnya menggunakan landasan utama yaitu prinsip bagi hasil (berlandaskan output bukan input) untuk setiap operasinya, baik untuk aktifitas penghimpunan dana (tabungan) maupun penyaluran dana (pembiayaan). Selain dari itu bank syariah juga menjalankan aktifitasnya dengan prisip tanpa bagi hasil, yakni menggunakan model:
Jual beli dengan akad murabahah, salam, dan istishna (2) Sewa dengan akad ijarah dan ijarah wa iqtina. Sangat-sangat perlu dipahami bahwasanya produk bank syariah selain bentuk atau namanya, juga sangat penting memperhatikan prinsip syariah yang digunakan oleh produk-produk bersangkutan, dan bukan hanya sebatas nama produknya, sebagaimana produk-produk bank konvensional.
Aktifitas perbankan syariah tentunya memiliki tujuan yakni untuk menciptakan keberkahan dan menambah mashlahah guna mewujudkan falah bagi kehidupan umat manusia. Tujuan tersebut tidak hanya sebatas menciptakan dan menambah produk guna memenuhi kebutuhan umat manusia pada umumnya dan kebutuhan manusia secara individu khususnya.
Pemenuhan kebutuhan umat manusia maupun manusia secara individu, tidak hanya pemenuhan kebutuhan materi yang bersifat fisik, akan tetapi juga pemenuhan kebutuhan materi bersifat abstrak, dalam hal ini pemenuhan kebutuhan berkaitan hubungannya dengan kepatuhan kepada Sang Pencipta Allah Azza Wajjallah (hablumminallah).
Pedoman dan tuntunan dalam beraktivitas yang dilaksanakan bank syariah sejalan dengan Firman Allah SWT (Al-Qur’an) sangat jelas, memiliki dua dimensi. Dimensi pertama (duniawi) beroreantasi meraih laba optimum dalam jangka pendek (short run) dan dimensi kedua (akhirat) meraih falah dalam jangka panjang (long-run).
Dengan demikian aktifitas bank syariah selain meraih laba optimum jangka pendek (dunia) juga meraih falah dalam jangka panjang (akhirat). Hal ini berarti bank syariah merealisasikan: (1) secara seimbang antara pembatasan-pembatasan terhadap segala yang dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk dilaksanakan, (2) aspek sosial dari aktifitas sangat-sangat ditekankan, serta berhubungan erat dengan proses produksi guna meraih output dan terlebih lagi berupa outcome.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa aktifitas bank syariah tentunya berkorelasi dengan dua dimensi yakni: (1) Dimensi dunia, dan (2) Dimensi akhirat. Kedua dimensi ini tentunya berkaitan erat pula dengan besarnya biaya (cost) yang harus di pikul baik oleh perbankan syariah sendiri maupun nasabah bank syariah tersebut.
Hal ini dapat dimaknai bahwasanya biaya yang harus di pikul nasabah bank syariah akan berlipat ganda guna meraih laba optimum dalam jangka pendek (short run) dan meraih falah dalam jangka panjang, lain halnya dengan bank konvensional yang hanya berdimensi dunia saja/jangka pendek (short run), dengan mengabaikan dimensi akhirat/jangka panjang (long-run).
Situasi dan kondisi diataslah yang menyebabkan tingkat pengembalian yang diterima oleh nasabah bank syariah, misalkan pada produk deposito, lebih jauh rendah jika dibandingkan dengan produk yang sama di bank konvensional. Sebaliknya biaya yang harus ditanggung oleh nasabah bank syariah untuk produk pembiayaan akan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk yang sama di bank konvensional (kredit). Cost inilah sebagai saving akhirat, guna meraih keberkahan (falah).***
Rosyetti, Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Riau