Cari Opini


Home >> Opini >> Satrio Wahono (Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila, Jakarta)

Opini
Satrio Wahono (Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila, Jakarta)

Teori Islam tentang Kenaikan Harga

Jumat, 17 November 2023 WIB

Teori Islam tentang Kenaikan Harga

Satu fenomena yang membuat rakyat cemas saat ini adalah melambungnya harga-harga bahan pokok. Banyak faktor yang bisa dinisbatkan sebagai penyebab kenaikan tersebut, seperti anomali musim, konflik kawasan, dan lain sebagainya. Maka itu, menelaah bagaimana harga tercipta menjadi penting. Perlu diketahui, selama ini teori mekanisme penciptaan harga berdasarkan prinsip pasar bebas selalu diatributkan kepada teoretikus ekonomi abad ke-17 dan ke-18 seperti Pufendorf dan Adam Smith. Padahal jauh sebelum mereka, dua tokoh pemikir Islam, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Ibnu Khaldun (1332 – 1404 M), sudah melakukan itu.

Kita tahu penciptaan harga sejatinya dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran (supply and demand). Maksudnya, mekanisme di mana konsumen mencari barang/jasa sementara produsen memproduksi dan menawarkan barang/jasa secara bebas akan menghasilkan satu titik harga tertentu. Merujuk Adam Smith, mekanisme ini seharusnya dijalankan secara bebas dan hanya diatur oleh apa yang disebut invinsible hand (tangan tak kelihatan) di mana kebebasan setiap pihak dalam pasar akan mengatur diri sendiri batas-batas rasional di antara proses mereka menentukan harga.

Akan tetapi, teori di atas praktis tidak dikenal pada abad ke-13 sebelum munculnya Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sendiri memiliki istilah khusus untuk permintaan, yaitu keinginan akan barang (raghabat fi al-sya’i). Menurut Ibnu Taimiyah, (dalam Islahi, Economic Views of Ibn Taymiyah, 1980), naik turunnya harga kadang disebabkan penurunan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diingini (permintaan). Dengan demikian, jika keinginan akan barang naik sementara persediaan berkurang akibat satu dan lain hal—seperti anomali musim misalnya—harga barang akan naik. Di sisi lain, jika persediaan barang naik dan keinginan orang akan barang itu menurun, harganya akan jatuh.

Jadi, Ibnu Taimiyah ingin mengatakan bahwa harga tercipta karena pergeseran fungsi permintaan dan penawaran yang terjadi dalam mekanisme pasar bebas. Ibnu Taimiyah memang meyakini betul mekanisme pasar bebas. Sebab, ia menentang kebijakan administered goods di mana pemerintah memiliki kontrol untuk menentukan harga suatu komoditas.

Maka itu, permasalahan naiknya harga bahan pokok salah satunya bisa dinisbatkan pada melonjaknya permintaan masyarakat akan barang tersebut. Di Indonesia, misalnya, lonjakan ini terjadi karena kita baru pulih dari pandemi, sehingga gairah konsumtif masyarakat menggeliat kembali. Ditambah dengan turunnya persediaan barang akibat berbagai faktor, naiklah harga jika kita merujuk Ibn Taimiyah.

Di sisi lain, Taimiyah mengakui fakta bahwa harga kadang dapat naik karena manipulasi di dalam pasar, seperti penimbunan. Dia menyebutnya kezaliman seraya mengesahkan intervensi pemerintah untuk mengatur harga jika kondisi kezaliman itu terjadi. Pendeknya, negara yang tadinya memainkan peranan minimal (laissez faire) bergeser menjadi agen intervensi jika ada penyimpangan mekanisme pasar. Dalam konteks Indonesia, kita tak bisa memungkiri banyak spekulan kerap mengail di air keruh untuk menimbun kebutuhan pokok demi meraup untung besar dari kenaikan permintaan.

Taimiyah selanjutnya meringkaskan enam prinsip teori penciptaan harga. Pertama, satu barang akan lebih diiinginkan ketika barang itu langka, sehingga harga pun akan naik. Jadi, jika penawaran turun dan permintaan naik, harga akan naik. Kedua, jika jumlah orang yang menginginkan suatu barang besar, harga barang itu akan naik. Maksudnya, jika permintaan terhadap suatu barang naik, harga akan naik.

Ketiga, harga dipengaruhi oleh besar-kecilnya kebutuhan akan barang tersebut. Jika prinsip kedua terkait kuantitas permintaan, prinsip ketiga ini terkait kualitas. Artinya, meskipun jumlah orang yang memberikan permintaan akan suatu komoditas kecil, tapi jika volume pembelian mereka besar, itu akan memengaruhi harga. Keempat, harga dipengaruhi oleh lawan transaksi. Sebagai contoh, jika konsumen adalah orang kaya yang terpercaya dalam membayar transaksi, si penjual bisa saja menerima harga yang lebih kecil. Lain cerita jika si konsumen sering gagal bayar.    

Kelima, harga dipengaruhi oleh jenis uang yang dibayarkan dalam penukaran alias transaksi. Ini terkait dengan nilai tukar mata uang dalam transaksi dan kepercayaan terhadap mata uang yang bersangkutan. Sekarang misalnya, dalam ekspor-impor transaksi kerap dilakukan dalam dolar AS, kecuali jika ada kesepakatan tertentu antara kedua negara yang bertransaksi. Keenam, harga tergantung pada ongkos-ongkos persediaan suatu komoditas. Ibnu Taimiyah memasukkan ongkos keamanan, keselamatan, distribusi, dan penyimpanan (inventori) sebagai penentu harga. Misalnya, jika ongkos distribusi suatu barang tinggi, ambil contoh karena melewati jalur penuh rampok atau jalur yang sering dilanda bencana banjir, harga barang itu tentu menjadi lebih tinggi.

Namun teori Ibn Taimiyah bukan tanpa kritik. Ibnu Khaldun, misalnya, mengajukan dua revisi penting. Misalnya, Ibnu Khaldun memasukkan faktor kompetisi. Ia mencontohkan orang sering memiliki kebutuhan besar akan tenaga buruh. Akibatnya, timbul persaingan atau kompetisi untuk mendapatkan tenaga pekerja. Konsumen pun akhirnya berani membayar lebih dari nilai pekerjaan sang buruh. Pendek kata, terjadi pergeseran kurva harga akibat kompetisi.

Selanjutnya, Ibnu Khaldun memperkenalkan konsep harga premium karena intangible asset. Ibnu Khaldun mengutarakan jika suatu tempat telah makmur dan padat penduduknya, akan timbul kebutuhan akan barang di luar kebutuhan sehari-hari. Jumlah pembeli meningkat sekalipun persediaan barang itu sedikit sementara orang kaya berani membayar tinggi untuk barang itu. Alhasil, ini meningkatkan harga. Maka itu, sekarang ini akibat perkembangan pesat media sosial, kita kerap melihat lonjakan harga barang sekunder dan tersier yang menawarkan prestise, seperti harga mainan anak, harga kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Salah satu faktornya adalah karena media sosial telah meningkatkan prestise dari banyak komoditas sekaligus memberikan pendapatan berlebih dari adsense, endorsement, dan lain sebagainya, kepada pegiat media sosial seperti influencer atau selebgram.

Akhirulkalam, teori penciptaan harga dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun begitu visioner sampai tiga-empat abad mendahului pemikiran para teoretikus pasar bebas di Barat. Inilah sekelumit bukti betapa Islam merupakan agama kaffah (komprehensif) yang memadukan ilmu dan amal serta dimensi duniawi dan ukhrawi.***

Oleh Satrio Wahono, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila, Jakarta






riau pos PT. Riau Multimedia Corporindo
Graha Pena Riau, 3rd floor
Jl. HR Soebrantas KM 10.5 Tampan
Pekanbaru - Riau
E-mail:riaupos.maya@gmail.com